Tuesday, April 24, 2012

“Bagiku itu hal baru” – Cerita Agus Wenda


Pantasan banyak anak-anak kami di daerah yang tidak pintar, baru mereka tidak pernah minum ASI lama yadi...” dengan nada terheran-heran dan logat Papua asli, Pak Agus Wenda mengungkapkan apa yang dia tahu setelah mengikuti kegiatan pelatihan IMD yang kami lakukan di Wamena beberapa waktu lalu.

Ayah satu anak yang masih balita ini (Teliku Wenda, umur 1 tahun 3 bulan) mengatakan sebelumnya ia benar-benar belum tahu bahwa tindakan IMD ini tidak dilakukan oleh bidan dan dukun beranak di daerahnya. Padahal ini merupakan salah satu tindakan yang sangat penting bagi anak dan ibu, ungkapnya lagi dengan nada sedikit heran.


 IMD (Inisiasi Menyusu Dini) adalah suatu gerakan dimana bayi diharuskan mulai menyusu sendiri segera setelah lahir. Hal ini sudah menjadi salah satu program yang sudah diterapkan di tiap-tiap rumah sakit yang ada di perkotaan. IMD dilakukan oleh seorang yang bertugas menolong persalinan pada ibu-ibu yang mau partus (melahirkan), saat bayi lahir bayi tersebut diletakan di perut ibu dan bayi dibiarkan mencari sendiri puting ibu tanpa di tolong oleh siapapun, jadi bayi sendiri yang merangkak di perut ibu sampai ke dada ibu dan menggunakan tangannya untuk mencari puting susu ibunya.

Sampai saat ini suami dari Topince Tabuni ini masih merasa bahwa ini satu program yang baru dan ia harus bekerjasama dengan bidan-bidan yang ada di Makki agar kedepannya mereka dapat melakukan karena di daerah seperti Lanny Jaya program ini belum pernah dilakukan karena masih terbatas dengan pengetahuan dan program pemerintahpun belum diwajibkan untuk tiap-tiap bidan, kader atau dukun beranak untuk melakukannya.

Ketika diundang untuk ikut Pelatihan Inisiasi Menyusui Dini, Pak Agus Wenda, yang juga adalah staf puskesmas Makki kabupaten Lanny Jaya ini begitu antusias. Dengan senang hati ia datang mengikuti kegiatan pelatihan ini, karena ia menganggap bahwa ini adalah salah satu kesempatan untuk ia bisa belajar lebih banyak lagi. Pak Agus merupakan salah satu peserta dari 2 peserta laki – laki yang hadir pada kegiatan tersebut. Ia mengaku bahwa awalnya ia agak malu karena diundangan hanya di undang khusus untuk bidan dan dukun beranak, tapi karena ia ingin belajar, ia pun datang untuk mengikuti kegiatan tersebut. Sa rasa perawat seperti sa juga perlu belajar karena kami di Makki tidak pernah belajar seperti ini, apalagi kalau ada keadaan darurat sa juga tolong ibu melahirkan”, ungkapnya lagi.

Bagi kita mungkin ini merupakan hal lama dan bahkan membosankan tapi belum tentu bagi orang lain yang belum pernah mengetahuinya. 

Cerita oleh Sonya Tadoe, dituliskan dan diposting oleh Willy Sitompul

“Sedikit senyuman Si Kembar”



“Trimakasih ee.. su bikin sa punya anak besar”, itu adalah ungkapan hati seorang ibu yang merasa anaknya sangat tertolong ketika mengikuti sesi pos gizi yang kami lakukan di desa Wenam, Kecamatan Pirime, Kabupaten Lanny Jaya Papua. Kabupaten ini merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya, sehingga banyak sekali terdapat daerah tertentu yang masih belum mendapat pelayanan kesehatan yang memadai khususnya anak-anak kurang gizi yang ada di daerah tersebut. Ibu tersebut bernama Lepina Wenda. Suaminya Mekinus Wanimbo adalah seorang buruh tani yang selain mengerjakan lahannya sendiri juga sering bekerja di lahan milik keluarga. Ibu ini mempunyai anak kembar bernama Mitron dan Nindana. Anak sebelumnya bernama Mendinus Wanimbo yang kini bersekolah di kelas 5 SD. Mendinus menjadi anak sponsor ADP Eruwok sejak dua tahun lalu.

Si kembar Mitron dan Nindana hidup bersama kedua orangtua mereka di desa Wenam ini. Mereka masih sangat kecil untuk mengetahui masalah apa yang sedang dihadapi oleh kedua orangtua mereka, yang mereka ketahui adalah mereka memperoleh makan dan minum secukupnya. Namun yang mereka alami lain dengan kenyataan yang seharusnya mereka terima. Ibu mereka begitu sibuk mengurusi kebun, dengan rutinitas setiap hari pergi pagi hari dan pulang pada malam hari sehingga mereka hanya dititipkan pada kakak mereka dengan beberapa potong hipere (Ubi jalar) bakar untuk dimakan dalam sehari, sedangkan sang bapak lebih banyak meluangkan waktu untuk mengurus kegiatan-kegiatan adat selain bertani.

Dengan keadaan seperti inilah yang membuat Mitron dan Nindana mengalami gizi buruk di daerah mereka. Pemberian makanan terlalu dini merupakan salah satu penyebab anak malnutrisi karena sistem pencernaan dipaksa untuk mencerna makanan yang belum waktunya, karena makanan yang pas untuk mereka adalah ASI dan MPASI lainnya yang masih lembut dan sesuai dengan sistem pencernaan mereka.

Pada saat mereka mengikuti sesi pos gizi, masing-masing berumur Mitron 58 minggu, BB, 4 kg dan Nindana 58 minggu, BB 4,2 kg, namun setelah mendapat rekomendasi untuk mengikuti sesi pos gizi selama 10 hari dalam waktu 3 bulan maka ada perubahan yang terjadi pada mereka. Mereka mulai tampak lebih segar dari sebelumnya dengan kenaikan BB masing-masing menjadi, Mitron 16,8 kg dan Nindana 15,6 kg, mereka mulai tersenyum, mereka mulai sedikit aktif untuk bermain dengan teman-teman mereka yang lain. Itulah yang membuat kami dengan pantang menyerah terus berusaha untuk melakukan yang terbaik buat mereka, karena kami tahu bahwa di balik sedikit senyuman dari mereka yang menyenangkan membuat kami bangga memiliki mereka.

“Saya akan mulai merawat si kembar dengan lebih serius” kata mama Lepina kepada kami. “Saya ingin mereka menjadi anak yang pintar seperti bapak dan ibu WVI” lanjutnya. Kamipun senang dan terharu. Semoga senyuman si kembar bukan hanya kali ini saja bisa ditemui tapi juga bisa ditemui dari anak-anak lain yang merasakan manfaat dari Pos Gizi ini.

Cerita oleh Sonya Tadoe, dituliskan kembali oleh Willy Sitompul

“I was Just Dare/ Saya Nekat Saja” – Elisabeth’s Story


Cadres often identified with volunteers who work without pay or without receiving remuneration from anyone. They work by doing all the things that has to do with health problems and equipped with the knowledge needed for their work in accordance with standard operating procedures.
 
But there is something different with this one cadre named Elisabeth Wanimbo – 54 years old. It has been about 14 years he served as a cadre in the village in the district Pirime Lanny Jaya - Papua. She once was attended the school so that she could write. She has not been provided with any knowledge even related to health. She used to do the activities to help Posyandu even mothers who want to give birth. Only bold and equipped with little experience that she often saw the midwife doing the job, makes her passion to do so and the result was helping a lot of mothers, and their babies all survived.

When we invited her to participate in IMD (Early Breastfeeding Initiation) training, she was happy to come. When the activity takes place, she was given the opportunity by the facilitator to demonstrate how to help people during delivery ala cadre. Elisabeth directly shows the action in front of the participants by way of squatting and using her friend as a patient. With the squat position would make the other participants to ask, how to implement the IMD?

"Later, after the kid out, we put the child in a place that we already prepared. Later, we ask the mother to be in sleeping position so that the kid can be placed on the mother", answered this mother of 3 children.

Apparently according to the facilitator that was one right answer if we have to help people give birth by squatting. How fun to see what was done by Elisabeth. Under limited conditions it turns out she has a lot of knowledge to be distributed to other cadres. Let us hope that in the future there will be other cadres like Elisabeth.

Story by Sonya Tadoe, Rewritten by Willy Sitompul

“Sa Nekat saja”


Kader sering diidentikkan dengan seorang sukarelawan yang bekerja tanpa dibayar atau tanpa menerima imbalan dari siapapun. Mereka bekerja dengan melakukan semua hal yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan dan dibekali dengan pengetahuan agar mereka bekerja sesuai dengan standar operasional prosedur.

Tapi beda dengan kader yang satu ini (Elisabeth Wanimbo, 54 th). Sudah sekitar 14 tahun dia mengabdi sebagai seorang kader kesehatan di desa Pirime di Kabupaten Lanny Jaya – Papua. Dulu ia pernah bersekolah sehingga dia bisa membaca dan menulis. Dia belum pernah dibekali dengan pengetahuan apapun. Padahal dia biasa melakukan kegiatan posyandu bahkan dia sering menolong ibu-ibu yang mau melahirkan. Hanya dengan modal nekat dan dengan sedikit pengalaman yang dia dapat dari melihat bidan saat bekerja, membuat dia semakin semangat untuk melakukannya dan hasilnya banyak ibu yang ditolongnya dan bayi mereka semuanya selamat.

Saat kami mengundangnya untuk mengikuti kegiatan pelatihan tentang IMD (Inisiasi Menyusui Dini) dengan senang hati dia datang mengikutinya. Saat kegiatan berlangsung, dia diberi kesempatan oleh fasilitator untuk memperagakan cara menolong orang saat melahirkan ala kader. Elisabeth langsung menunjukan aksinya di depan peserta dengan cara jongkok dan temannya dijadikan pasien sementara. Dengan posisi jongkok tentu membuat peserta yang lain jadi bertanya, bagaimana menerapkan IMD?

“Nanti kita habis kasih keluar anak kita taruh tahan di tempat yang sudah siap trus suruh ibu tidur supaya kita taruh anak diatas toh..” dengan ceplas ceplosnya ibu dari 3 orang anak ini menjawab.

Ternyata menurut fasilitator itu merupakan salah satu jawaban yang tepat jika kita harus menolong orang melahirkan dengan cara jongkok. Betapa pentingnya belajar agar kita mengerti apa yang akan kita lakukan.

Cerita oleh Sonya Tadoe, dituliskan kembali oleh Willy Sitompul

“Live Clean, My Future is Bright!” – Ailes’ story



That day was cloudless. A group of children had seen jogging along the path in the village Wiringgambut. Apparently, that day will be held CTPS education. What is CTPS? Apparently it stands for Cuci Tangan Pakai Sabun/ Hand Washing With Soap.

One of the kids who appear to be serious in that education sessions are Ailes Wandik. Ailes is one of Eruwok ADP registered children (RC). If there are questions posed, Ailes had always raised his hand trying to answer correctly. "Absolutely" said Sonya WVI staff that provides education. Ailes aloud correctly answer five steps in Hand Washing With Soap (CTPS).

The Basic Health Research (Riskesdas) in 2007 found 34% incidence of ARI and 16% incidence of diarrhea occurred in children aged 1-4 years. This suggests the need for continuous attention to the prevention of the spread of the disease, especially for children.

Hand Washing With Soap (CTPS) is scientifically proven effective in preventing diarrhea, respiratory infection that has been the cause of child mortality in Indonesia and the world. The importance of healthy behaviors Hand Washing With Soap (CTPS) to prevent the spread of infectious diseases such as diarrhea, ARI and AI has been widely understood by the community, even though the practice is not widely applied in everyday life. CTPS behavior proved to be an effective means of preventive health efforts.

"The children in this region are frequently suffered from diarrhea" said Martinus Wenda. Martinus Wenda is a teacher who served in the village. "Hopefully after this education the children aware of the importance of washing hands with soap" he continued.

"I was often felt sick in my belly" Ailes said. "I did not know that wash my hands is important" he continued. "But now I already know and from now on I will be diligent wash my hands" said this child of Tarius and Erus. Ailes also promised us to convey this CTPS messages to his friends at school. Well done Ailes!

Story by Sonya Tadoe, Re-written by Willy Sitompul

Friday, April 13, 2012

“I Can!” – Samince’s Story

"Come quickly ..." said Mr. Tsamani. A group of children appear rushed into the yard of a house used by the WVI as an operational office in Tiom. Mr. Tsamani is a Marching Band coach that was contracted by WVI for a year to teach children in Tiom. WVI was over a year working with Lanny Jaya regency government to nurture about 50 children to manage the Marching Band. This Marching Band then called “Lanny Jaya Marching Band”.

A child looks half running trying to go ahead of his peers. With his tiny body seems she managed to stay ahead from her colleagues to enter the yard of WVI office. Her name is Samince Kogoya. This first child of two siblings goes to school in the eighth grade of SMP 1 Tiom. By rushing Samince take a musical instrument she used. That instrument is a Belyra. That day the children who used to practice every day will show off skills in public of Lanny Jaya. It was the day the world AIDS day campaign. Marching band will go before leading a group of students.

"I am delighted to be practicing with my friends" says Samince. "The coach is also good, though we often get yelled at, but we know it all so that we can do better" she continued. Samince has to walk every day about 30 minutes to get to school. Her parents work as daily workers in the health center of Tiom. "This one kid has shown pretty good progress" Tsamani said about Samince. "Of all the areas we've ever coached, this is where we find the most formidable challenge" continues Tsamani. These children had never studied music. The coach must teach them the basics of music before they can play a musical instrument.

"Let's march!" shouted Novianto, another coach. The children, including Samince immediately form a neat line. The coach then gives the signal with his hand. In a short time the two songs were heard blaring in the middle of silence at the time. In this condition they also lined the move toward market Tiom. In accordance with the instructions of trainers, they will begin to appear on the market Tiom and then head of government offices.
When asked how she felt would perform in front of the Regent, Samince replied, "I'm a little nervous, but we believe we can" she said with a smile. The campaign went well that day. All participants welcomed the campaign by the government, represented by Vice Regent. In our hearts, we deeply touched by their appearance. These children, who were not familiar with the music, especially play a musical instrument, but apparently they can. Come on Samince, yes you can!